Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah

TEMPO.CO, Jakarta - Istilah “budi pekerti” muncul dalam rancangan Kurikulum 2013, menempel pada Pendidikan Agama, sehingga bunyi selengkapnya struktur kurikulumnya adalah “Pendidikan Agama dan Budi Pekerti”. Kemunculannya tidak sejak awal, tapi pada awal 2013, konon dari Kantor Wakil Presiden Boediono—untuk memberikan warna pada pendidikan agama agar tidak terlalu dogmatis.


Para guru dan pengembang kurikulum untuk pendidikan agama sempat resistan terhadap penambahan budi pekerti karena, menurut mereka, pendidikan agama sudah mencakup pendidikan budi pekerti, tanpa harus dieksplisitkan. Wakil Menteri Pendidikan Musliar Kasim (Februari 2013) perlu meyakinkan bahwa keberadaan budi pekerti itu tidak melemahkan pendidikan agama, sebaliknya justru memperkuat posisinya.


Sebetulnya istilah budi pekerti pernah dikenal dalam bangku sekolah kita, yaitu sejak awal kemerdekaan hingga awal dekade 1970-an. Tapi istilah tersebut hilang digantikan oleh keberadaan pendidikan agama yang mulai diterapkan berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan.


Keluarnya Ketetapan MPRS tersebut tidak dapat dilepaskan dari tragedi G30S (1965), yang memunculkan stigma keliru bahwa mereka yang komunis itu tidak beragama, maka agar orang tidak disebut komunis, harus beragama. Stigmatisasi keliru itu turut mempercepat proses agamanisasi di masyarakat dan sekolah, apalagi kemudian ditunjang keluarnya UU Nomor 2/1989 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Semua itu memperkuat proses agamanisasi di sekolah-sekolah formal, sehingga istilah “budi pekerti” tidak dikenal lagi. Maka, ketika muncul kembali dalam struktur Kurikulum 2013, istilah itu mendapat resistensi dari para guru agama. Padahal sesungguhnya itu mutiara bangsa yang sudah lama terpendam.